Jumat, 07 Desember 2018

MAKALAH BIOSENSOR PENDETEKSI RACUN PADA BAHAN PANGAN


MAKALAH ANALISIS SISTEM DAN DESAIN
BIOSENSOR PENDETEKSI RACUN PADA BAHAN PANGAN


Disusun Oleh :
Kelompok 8
Tontawy Jauhari          (J1B016098)
Wahyudi                     (J1B016100)
Yolen Mansyah           (J1B016102)
Sabar Burhan              (J1B016104)









PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MATARAM
2018

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata Analisis Sistem Dan Desain dengan judul “Biosensor untuk mendeteksi racun pada bahan pangan”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Mataram, November 2018
             Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………… i                                
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ……………………………………………………………. iii
B.     Tujuan …………………………………………………………………….. iii
C.     Manfaat …………………………………………………………………… iii
BAB II PEMBAHASAN
A.    Penyakit Akibat Makanan (Foodborne Diseases)  …………………………. 3
B.     Kerugian Akibat Kontaminasi Mikroorganisme Patogen
Pada Bahan Pangan  ………………………………………………………… 3
C.     Perkembangan Metode Deteksi Mikroorganisme Patogen
Pada Bahan Pangan ………………………………………………………..... 4
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ………………………………………………………………… 8
B.     Saran ……………………………………………………………………….. 8
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                                                   





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kualitas dan keamanan bahan pangan sangat penting dalam mendukung kualitas kesehatan masyarakat. Namun, banyak jenis mikroorganisme patogen yang dapat mengkontaminasi bahan pangan dan mengakibatkan berbagai macam penyakit (Naravaneni & Jamil, 2005). Penyakit akibat makanan umumnya disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang dapat mengkontaminasi bahan makanan tertentu. Ancaman kontaminasi tersebut mengakibatkan masalah kesehatan serius, baik di Negara maju maupun berkembang (Zhao et al., 2016; Karus et al., 2017). Akibat dari kontaminasi mikroorganisme pada makanan cukup besar meliputi kerugian secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Berdasarkan penelitian dari Billington et al. (2014), keracunan makanan akibat kontaminasi oleh mikroorganisme patogen di Amerika Serikat mencapai estimasi 9,4 juta kasus dengan 55.961 diantaranya dirawat di rumah sakit dan 1.351 meninggal dunia.
Mikroorganisme patogen yang mengkontaminasi bahan pangan dapat berupa bakteri, virus, fungi maupun parasit lainnya. Beberapa jenis bakteri kontaminan pada bahan pangan yang dapat pula menginfeksi manusia adalah Echerichia coli (O157:H7), Salmonella enterica, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Campylobacter jejuni, Bacillus cereus, E. coli produsen toksin Shiga lainnya (selain O157) (Zhao et al., 2014), Vibrio parahaemolyticus, V. cholera O1, V. cholera O139, Salmonella enteritidis, S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, S. paratyphi C, dan S. choleraesuis. Patogen-patogen tersebut dapat ditemukan pada beberapa jenis bahan pangan, seperti bahan dasar pangan, makanan setengah matang (daging, seafood, unggas, dll), serta makanan siap saji (sayuran, buah, produk olahan susu, dll) (Zhao et al., 2016).
Prosedur deteksi penyakit akibat kontaminasi patogen pada bahan pangan menggunakan standar identifikasi isolat pada kultur dengan media tertentu. Namun, prosedur standar tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk dapat diketahui hasilnya (Zhao et al., 2016). Metode identifikasi konvensional meliputi serangkaian prosedur subkultur dan identifikasi biotipe-serotipe yang meskipun memberikan hasil yang sensitif (Vidic et al., 2017), tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama (Naravaneni & Jamil, 2005).
Pengembangan metode deteksi patogen pada makanan yang relatif cepat dengan hasil yang akurat, sensitif dan spesifik sangat diperlukan untuk mencegah semakin menyebarnya penyakit akibat infeksi patogen melalui makanan (Phaneuf et al., 2016). Strategi yang banyak dilakukan untuk deteksi patogen secara cepat diantaranya melakukan skrining sekuen DNA target atau menggunakan probe untuk mengembangkan penanda DNA patogen penginfeksi (Lin & Lin, 2016), serta deteksi molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) sederhana dan pengembangannya.

B.     Tujuan
Tujuan dari Penyusunan Mkalah ini ialah :
1.      Mempelajari tentang biosensor secara umum
2.      Mempelajari biosensor dalam pendektian racun pada bahan pangan
3.      Mempelajari factor-faktor penyebab keracunan makanan serta cara mengatasinya

C.     Manfaat
1.      Menambah wawasan tentang biosesnsor secara umum
2.      Menambah wawasan serta pengetahuan tentang biosensor dalam pendeteksian racun
3.      Menambah wawasan serta pengetahuan tentang ide baru pengembangan biosensor dalam bahan pangan.

4.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyakit akibat makanan (Foodborne diseases)
Keamanan pangan tidak hanya merupakan isu dalam bidang pertanian, tetapi juga merupakan isu penting dalam bidang kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya penyebaran penyakit akibat makanan (foodborne diseases) baik di negara berkembang maupun maju (Zhao et al., 2014). Sebagian besar kasus penyakit yang berkaitan dengan usus maupun organ pencernaan yang lain disebabkan oleh adanya kontaminasi mikroorganisme patogen pada bahan pangan yang dikonsumsi manusia (Karus et al., 2016).
Penyakit akibat makanan tidak hanya menjadi sumber keparahan pada penderita yang terinfeksi, tetapi juga mengakibatkan mewabahnya infeksi, kematian pada beberapa kasus, bahkan kerugian finansial yang besar mencapai 51-77,7 milyar dolar (Billington et al., 2014). Kontaminasi mikroorganisme patogen pada makanan setidaknya membuat 1 dari 6 orang terinfeksi dalam satu tahun. Beberapa diantara kasus infeksi akibat kontaminasi patogen pada bahan pangen dapat diatasi oleh respon imun penderita sendiri, namun beberapa kasus yang lain mengakibatkan keparahan pada penderita sehingga membutuhkan penanganan serius untuk mencegah terjadinya kematian (Carleton & Gerner-Smidt, 2016).
Frekuensi mewabahnya penyakit akibat kontaminasi patogen pada bahan pangan semakin meningkat di seluruh dunia karena mikrooeganisme patogen dapat ditemukan pada saluran intestinal hewan yang diambil dagingnya untuk konsumsi manusia. Hal tersebut mengakibatkan mudahnya transmisi patogen dari hewan ke manusia selama rantai makanan berlangsung (Karus et al., 2017). Kontrol yang ketat pada keseluruhan rangkaian proses pengolahan, pengemasan, distribusi, dan penyimpanan bahan pangan sangat diperlukan untuk mengantisipasi kontaminasi yang mungkin terjadi.
B.     Kerugian akibat kontaminasi mikroorganisme patogen pada bahan pangan
Kontaminasi bahan pangan oleh mikroorganisme patogen merupakan ancaman besar bagi kesehatan manusia. Selain itu, kerugian finansial akibat kerusakan baik bahan mentah maupun produk pangan yang terkontaminasi mikroorganisme patogen dinilai cukup signifikan bagi industri makanan. Salah satu cara untuk meminimalisasi potensi kontaminasi adalah dengan sterilisasi, namun akibat sterilisasi dan kondisi pemrosesan yang terlalu ekstrim justru dapat mengakibatkan perubahan fisiko kimia dan hilangnya kandungan nutrient pada bahan pangan (Hanna et al., 2005).
Bakteri patogen pengontaminasi bahan pangan (selain pada Tabel 1) diantaranya adalah Bacillus cereus yang secara etiologis disebut sebagai agen penyebab penyakit gastrointestinal dan nongastrointestinal. salah satu genus bakteri yang berpotensi dalam kontaminasi bahan pangan. Salmonella dapat mengakibatkan penyakit tifoid maupun non tifoid, misalnya S. enterica, S. typhi, S. thypoid, S. bongori, dan lainnya (Malorny et al., 2004). Eschericia coli yang merupakan bakteri Gram negatif dengan bentuk batang dapat pula mengontaminasi bahan pangan sehingga mengakibatkan gastroenteritis, peritonitis dan septisemia pada manusia (Vidic et al., 2017). Selain E. coli, jenis bakteri yang juga dapat mengakibatkan penyakit pada saluran pencernaan hingga mengakibatkan diare adalah Shigella, Vibrio, Yersinia enterocolitica, dan Cronobacter sedangkan Clostridium botulinum dapat mengakibatkan kerusakan pada produk olahan daging dan menyebabkan terjadinya botulisme (Carleton & Gerner-Smidt, 2016).
Selain bakteri, fungi juga merupakan mikroorganisme yang mungkin mengontaminasi bahan pangan. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya produksi toksin oleh fungi (Bleve et al., 2003). Fusarium oxysporum f. sp. cubense merupakan salah satu jenis fungi yang dapat mengontaminasi pisang. Kontaminasi F. oxysporum pada pisang mengakibatkan penyakit layu (Fusarium wilt of banana/FWB). Penyakit layu pada pisang juga sering disebut sebagai penyakit Panama. Kontaminasi tersebut menyebabkan menurunnya produksi pisang di seluruh dunia (Lin & Lin, 2016). Aspergillus flavus juga berpotensi untuk menyebabkan kontaminasi pada bahan pangan melalui produksi aflatoksin yang dapat mengakibatkan karsinoma hati dalam jangka panjang (Barnes & White, 2016).
C.    Perkembangan metode deteksi mikroorganisme patogen pada bahan pangan
Deteksi mikroorganisme pada bahan pangan secara klinis memberikan beberapa tantangan tersendiri. Tantangan tersebut meliputi rendahnya level kontaminasi sehingga pengambilan sampel secara representatif dirasa sangat sulit (Hanna et al., 2005). Metode konvensional dengan melihat bukti gejala infeksi, isolasi dan kultur patogen, observasi morfologi, serta uji patogenitas dan biokimia masih memiliki banyak kelemahan untuk mendeteksi adanya mikroorganisme patogen pada bahan pangan (Lin & Lin, 2016). Beberapa kelemahan tersebut meliputi proses yang terlalu panjang sehingga membutuhkan waktu relatif lama, sensitivitas dan spesifitas yang rendah, membutuhkan banyak tenaga, dan belum bisa mendeteksi kontaminasi pada fase awal. Padahal, deteksi mikroorganisme patogen pada fase awal kontaminasi dapat menurunkan tingkat keparahan serta menjadi rujukan perawatan dan pengobatan selanjutnya.
Teknologi lain untuk deteksi mikroorganisme patogen pada bahan pangan adalah teknologi biosensing. Biosensor mengenali biomarker target dan karakteristik tiap patogen melalui bioreseptor yang merupakan elemen sensor tidak bergerak (immobilized sensing element). Bioreseptor dapat berupa antibody monoklonal, RNA, DNA, glycan, lektin, enzim, jaringan, maupun sel utuh (whole cell). Biosensor merupakan komponen penting karena memiliki karakter biokimia dengan sensitifitas dan selektifitas yang tinggi untuk mendeteksi penanda biologis pada patogen (Vidic et al., 2017).
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu metode molekuler yang cukup sensitif untuk mendeteksi penyakit-penyakit infeksius, salah satunya adalah penyakit akibat makanan (Foodborne diseases). Tetapi, metode ini cukup jarang digunakan karena sulitnya ekstraksi asam nukleat dan deteksi sekuen asam nukleat spesifik dari materi genetik patogen (Barnes and White, 2016).
Perkembangan teknik dalam metode PCR juga turut mendukung perkembangan deteksi mikroorganisme patogen yang mengontaminasi bahan pangan. Salah satu teknik PCR yang banyak dikembangkan untuk alternatif deteksi patogen adalah Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Menurut Nadkarni et al. (2002), perbedaan pada ukuran sel bakteri, aggregasi bakteri, dan keberadaan material kontaminasi lain menyebabkan sulitnya deteksi kontaminasi mikroorganisme patogen pada bahan pangan. karena itu, metode deteksi molekuler juga harus selalu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan deteksi kontaminasi secara lebih spesifik dan sensitif. Metode RT-PCR menggunakan primer dan probe sebagai penanda tertentu untuk mendeteksi 16S rDNA yang dimiliki oleh mikroorganisme target sehingga hasil deteksi akan lebih spesifik. Bleve et al. (2003) menyatakan bahwa primer yang digunakan dalam RT-PCR spesifik untuk elongasi salinan DNA sesuai dengan DNA target tertentu.
Berbagai metode deteksi mikroorganisme patogen banyak berkembang namun, masih jarang sekali pengembangan metode untuk pencegahan kontaminasi mikroorganisme patogen pada bahan pangan. Salah satu metode preventif untuk mencegah kontaminasi tersebut adalah dengan nanobioteknologi. Metode ini merupakan kombinasi antara nanoteknologi dengan bioteknologi. Pemanfaatan nanobioteknologi secara preventif misalnya dengan penggunaan nanopartikel perak yang dapat mematikan patogen sebelum bahan pangan diproses lebih lanjut (Billington et al., 2014).
Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) untuk deteksi molekular mikroorganisme patogen pada bahan pangan
Salah satu kesulitan dalam deteksi mikroorganisme patogen pada bahan pangan diakibatkan oleh kecilnya jumlah mikroorganisme patogen tersebut (< 100 c.f.u.g-1) diantara banyaknya jenis mikroorganisme lainnya. Kesulitan lainnya adalah untuk membuktikan bahwa strain mikroorganisme pada sampel bahan pangan benar-benar bersifat patogen bagi manusia (Naravaneni & Jamil, 2005).
Metode berbasis PCR dapat mendeteksi mikroorganisme patogen melalui identifikasi sekuen DNA target yang dapat menghasilkan sensitifitas dan spesifitas cukup tinggi (Diederen et al., 2007). Metode PCR dapat digunakan untuk deteksi patogen secara molekuler dengan membandingkan ukuran DNA target dengan marker atau membandingkan sekuen DNA target dengan sekuen yang terdapat pada bank gen. PCR konvensional memiliki beberapa kelamahan seperti waktu running yang cukup lama dan berpotensi untuk memberikan hasil positif palsu akibat kontaminasi di laboratorium (Fricker et al., 2007). Oleh karena itu, deteksi dengan metode PCR yang lebih spesifik harus dikembangkan.
Metode RT-PCR semakin banyak digunakan untuk deteksi molekuler mikroorganisme karena jika dibandingkan dengan metode kultur konvensional, metode ini lebih sederhana, cepat, dan sangat sensitif (Vincart et al., 2007). Real-Time PCR memungkinkan setiap siklus amplifikasi DNA diobservasi dengan sistem computer untuk melihat sekuen dari produk PCR tersebut. Sensitivitas RT-PCR diperoleh melalui penggunaan penanda fluoresen yang akan berikatan dengan DNA target yang dikenal sebagai probe/penanda (Levin, 2004).

Metode PCR dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak salinan DNA demi tujuan tertentu, termasuk identifikasi adanya sekuen asing dalam suatu sampel DNA tertentu (Meade & Bollen, 1994). Pada metode PCR diperlukan cetakan DNA, primer, MgCl2, dNTP, dan enzim Taq-polimerase. Primer merupakan urutan nukleotida dengan panjang tertentu yang berfungsi sebagai inisiator reaksi PCR. Primer memiliki panjang 18-24 nukleotida dengan nilai GC content antara 40-60%. Satu siklus reaksi PCR terdiri atas 3 tahap, yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi.
Pada deteksi kontaminasi bahan pangan oleh mikroorganisme patogen, PCR dimanfaatkan untuk dapat menemukan adanya sekuen DNA spesifik yang dimiliki oleh kontaminan tersebut. Primer yang digunakan harus didesain sesuai dengan sekuen DNA target sehingga produk PCR yang dihasilkan bisa menunjukkan ada tidaknya hasil amplifikasi DNA dari mikroorganisme kontaminan yang menjadi target deteksi. Ada tidaknya sekuen DNA target dapat dilihat dari hasil visualisasi produk PCR dengan elektroforesis gel agarosa.
Persentase yang kecil pada DNA mikroorganisme patogen yang mengontaminasi bahan pangan menjadikan amplifikasi DNA dengan PCR konvensional belum dapat mendeteksi adanya kontaminasi secara sensitif. Satu kali proses PCR yang mencapai 35-40 siklus menjadikan proses deteksi melalui amplifikasi DNA target dapat terlewat karena siklus yang terlalu panjang.
Real-time PCR dapat digunakan untuk menggandakan DNA target dari suatu organisme untuk tujuan mengetahui kuantitas DNA secara relatif, ekspresi gen (kuantifikasi mRNA), deteksi keberadaan DNA target, menentukan jenis SNP (Single Nucleotide Polymorphism), menentukan kurva Tm (Melting Curve), dan melakukan skrining High Resolution Melting (HRM). Pada PCR konvensional, deteksi keberadaan DNA dilakukan di akhir reaksi dan pengamatan keberadaan DNA hasil amplifikasi dilakukan di gel agarose setelah dilakukan proses elektroforesis. Berbeda halnya pada RT_PCR yang memungkinkan pengamatan DNA dilakukan saat reaksi masih berlangsung. Keberadaan DNA diamati pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari probe. Pengamatan hasil tidak lagi membutuhkan tahap elektroforesis.
Primer dan probe untuk real time-PCR (RT-PCR) dipilih melalui penjajaran (alignment) keseluruhan gen pada patogen dan determinasi sekuen menggunakan perangkat lunak Primer Express (Applied Biosystem). Fragmen yang akan diamplifikasi dengan RT-PCR terlebih dahulu dicek menggunakan BLAST (http://www.ncbi.nml.nih.gov/BLAST) untuk menghindari kesalahan positif (false positive) yang diakibatkan oleh homologi sekuen (Vincart et al., 2007).
Real Time PCR (RT-PCR) memungkinkan deteksi patogen pada bahan pangan dalam waktu yang lebih cepat, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, serta memungkinkan perhitungan hasil amplifikasi materi genetik DNA patogen target. Resiko terjadinya kontaminasi silang dapat direduksi secara signifikan serta hasil deteksi lebih optimal karena manipulasi setelah proses PCR tidak diperlukan (Fricker et al., 2007). Deteksi molekuler mikroorganisme patogen pada bahan pangan dengan RT-PCR memiliki potensi sebagai metode yang cepat dan dapat dipercaya untuk mengontrol sampel yang terkontaminasi sepanjang rantai produksi makanan (Malorny et al., 2004).
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Deteksi mikroorganisme pada bahan pangan secara klinis memberikan beberapa tantangan tersendiri. Tantangan tersebut meliputi rendahnya level kontaminasi sehingga pengambilan sampel secara representatif dirasa sangat sulit. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu metode molekuler yang cukup sensitif untuk mendeteksi penyakit-penyakit infeksius, salah satunya adalah penyakit akibat makanan (Foodborne diseases). Tetapi, metode ini cukup jarang digunakan karena sulitnya ekstraksi asam nukleat dan deteksi sekuen asam nukleat spesifik dari materi genetik pathogen.

B.     SARAN
Diperlukan pengemangan dan penelitian lebih lanjut mengenai biosensor dalam hal pendeteksian racun dalam bahan pangan.






DAFTAR PUSTAKA

Barnes, R. A. and P. L. White. 2016. PCR technology for detection of invasive Aspergillosis. Journal of Fungi 2 (23): 1-9.
Billington, C., J. A. Hudson, and E. D’Sa. 2014. Prevention of bacterial foodborne disease using nanobiotechnology. Nanotechnology, Science and Applications (7): 73-83.
Bleve, G., L. Rizzotti, F. Dellaglio, and S. Torriani. 2003. Development of reverse transcription (RT)-PCR and real-time RT-PCR assays for rapid detection and quantification of viable yeasts and molds contaminating yogurts and pasteurized food products. Applied and Environmental Microbiology 69 (7): 4116-4122.
Carleton, H. A. and P. Gerner-Smidt. 2016. Whole-genome sequencing is taking over foodborne disease surveillance. Microbe 11 (7): 311-317.
Diederen, B. M. W., C. M. A. de Jong, F. Marmouk, J. A. W., Kluytmans, M. F. Peeters, and A. V. der Zee. 2007. Evaluation of real-time PCR for the early detection of Legionella pneumophila DNA in serum samples. Journal of Medical Microbiology (56): 94-101.
Fricker, M., U.Messelhäuβer, U. Busch, S. Scherer, and M. Ehling-Schulz. 2007. Diagnostic real-time PCR assays for the detection of emetic Bacillus cereus strains in foods and recent food-borne outbreaks. Applied and Environmental Microbiology 73 (6): 1892-1898.
GeneticID. 2016. Genetic analysis. Retrieved from http://www.gmotesting.com/Testing-Options/Genetic-analysis.
Hanna, S. E., C. J. Connor, and H. H. Wang. 2005. Real-time polymerase chain reaction for the food microbiologist: technologies, applications, and limitations. Journal of Food Science 70 (3): 49-53.
Karus, A., F. Ceciliani, A. S. Bonastre, and V. Karus. 2017. Development of simple multiplex real-time PCR assays for foodborne pathogens detection and identification on lightcycler. Macedonian Veterinary Review 40 (1): 53-58.
Levin, R. E. 2004. The application of real-time PCR to food and agricultural systems: A review. Food Biotechnology 18 (1): 97-133.
Lin, Y. and Y. Lin. 2016. Recent developments in the molecular detection of Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Journal of Nature and Science 2 (10).
Malorny, B., E. Paccassoni, P. Fach, C. Bunge, A. Martin, and R. Helmuth. 2004. Diagnostic real-time PCR for detection of Salmonella in food. Applied and Environmental Microbiology 70 (12): 7046-7052.
Meade, B. D. and A. Bollen. 1994. Recommendations for use of the polymerase chain reaction in the diagnosis of Bordetella pertussis infections. Journal of Medical Microbiology (41): 51-55.
Nadkarni, M. A., F. E. Martin, N. A. Jacques, and N. Hunter. 2002. Determination of bacterial load by real-time PCR using a broad-range (universal) probe and primers set. Microbiology (148): 257-266.

1 komentar:

  1. As reported by Stanford Medical, It is really the SINGLE reason this country's women live 10 years longer and weigh an average of 19 KG less than we do.

    (Just so you know, it really has NOTHING to do with genetics or some hard exercise and absolutely EVERYTHING around "HOW" they are eating.)

    P.S, I said "HOW", and not "WHAT"...

    TAP on this link to uncover if this little test can help you discover your real weight loss possibility

    BalasHapus