MAKALAH
ANALISIS SISTEM DAN DESAIN
BIOSENSOR
PENDETEKSI RACUN PADA BAHAN PANGAN
Disusun Oleh :
Kelompok
8
Tontawy
Jauhari (J1B016098)
Wahyudi (J1B016100)
Yolen
Mansyah (J1B016102)
Sabar
Burhan (J1B016104)
PROGRAM
STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS
TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS
MATARAM
2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata Analisis Sistem
Dan Desain dengan judul “Biosensor untuk mendeteksi racun pada bahan pangan”.
Penulis tentu
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.
Mataram,
November 2018
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang …………………………………………………………….
iii
B.
Tujuan …………………………………………………………………….. iii
C.
Manfaat …………………………………………………………………… iii
BAB II PEMBAHASAN
A.
Penyakit Akibat Makanan (Foodborne Diseases) …………………………. 3
B.
Kerugian Akibat Kontaminasi Mikroorganisme Patogen
Pada Bahan Pangan ………………………………………………………… 3
C. Perkembangan Metode Deteksi Mikroorganisme Patogen
Pada Bahan Pangan ………………………………………………………..... 4
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ………………………………………………………………… 8
B.
Saran ……………………………………………………………………….. 8
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kualitas
dan keamanan bahan pangan sangat penting dalam mendukung kualitas kesehatan
masyarakat. Namun, banyak jenis mikroorganisme patogen yang dapat
mengkontaminasi bahan pangan dan mengakibatkan berbagai macam penyakit
(Naravaneni & Jamil, 2005). Penyakit akibat makanan umumnya disebabkan oleh
mikroorganisme patogen yang dapat mengkontaminasi bahan makanan tertentu.
Ancaman kontaminasi tersebut mengakibatkan masalah kesehatan serius, baik di
Negara maju maupun berkembang (Zhao et al., 2016; Karus et al.,
2017). Akibat dari kontaminasi mikroorganisme pada makanan cukup besar meliputi
kerugian secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Berdasarkan penelitian
dari Billington et al. (2014), keracunan makanan akibat kontaminasi oleh
mikroorganisme patogen di Amerika Serikat mencapai estimasi 9,4 juta kasus
dengan 55.961 diantaranya dirawat di rumah sakit dan 1.351 meninggal dunia.
Mikroorganisme
patogen yang mengkontaminasi bahan pangan dapat berupa bakteri, virus, fungi
maupun parasit lainnya. Beberapa jenis bakteri kontaminan pada bahan pangan
yang dapat pula menginfeksi manusia adalah Echerichia coli (O157:H7), Salmonella
enterica, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Campylobacter
jejuni, Bacillus cereus, E. coli produsen toksin Shiga
lainnya (selain O157) (Zhao et al., 2014), Vibrio parahaemolyticus,
V. cholera O1, V. cholera O139, Salmonella enteritidis, S.
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, S. paratyphi C,
dan S. choleraesuis. Patogen-patogen tersebut dapat ditemukan pada
beberapa jenis bahan pangan, seperti bahan dasar pangan, makanan setengah
matang (daging, seafood, unggas, dll), serta makanan siap saji (sayuran, buah,
produk olahan susu, dll) (Zhao et al., 2016).
Prosedur
deteksi penyakit akibat kontaminasi patogen pada bahan pangan menggunakan
standar identifikasi isolat pada kultur dengan media tertentu. Namun, prosedur
standar tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk dapat diketahui hasilnya
(Zhao et al., 2016). Metode identifikasi konvensional meliputi
serangkaian prosedur subkultur dan identifikasi biotipe-serotipe yang meskipun
memberikan hasil yang sensitif (Vidic et al., 2017), tetapi membutuhkan
waktu yang relatif lama (Naravaneni & Jamil, 2005).
Pengembangan
metode deteksi patogen pada makanan yang relatif cepat dengan hasil yang
akurat, sensitif dan spesifik sangat diperlukan untuk mencegah semakin
menyebarnya penyakit akibat infeksi patogen melalui makanan (Phaneuf et al.,
2016). Strategi yang banyak dilakukan untuk deteksi patogen secara cepat
diantaranya melakukan skrining sekuen DNA target atau menggunakan probe untuk
mengembangkan penanda DNA patogen penginfeksi (Lin & Lin, 2016), serta
deteksi molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) sederhana dan
pengembangannya.
B.
Tujuan
Tujuan
dari Penyusunan Mkalah ini ialah :
1.
Mempelajari
tentang biosensor secara umum
2.
Mempelajari
biosensor dalam pendektian racun pada bahan pangan
3.
Mempelajari
factor-faktor penyebab keracunan makanan serta cara mengatasinya
C.
Manfaat
1.
Menambah
wawasan tentang biosesnsor secara umum
2.
Menambah
wawasan serta pengetahuan tentang biosensor dalam pendeteksian racun
3.
Menambah
wawasan serta pengetahuan tentang ide baru pengembangan biosensor dalam bahan
pangan.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penyakit akibat makanan
(Foodborne diseases)
Keamanan pangan tidak hanya merupakan
isu dalam bidang pertanian, tetapi juga merupakan isu penting dalam bidang
kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya penyebaran penyakit akibat
makanan (foodborne diseases) baik di negara berkembang maupun maju (Zhao
et al., 2014). Sebagian besar kasus penyakit yang berkaitan dengan usus
maupun organ pencernaan yang lain disebabkan oleh adanya kontaminasi
mikroorganisme patogen pada bahan pangan yang dikonsumsi manusia (Karus et
al., 2016).
Penyakit akibat makanan tidak hanya
menjadi sumber keparahan pada penderita yang terinfeksi, tetapi juga
mengakibatkan mewabahnya infeksi, kematian pada beberapa kasus, bahkan kerugian
finansial yang besar mencapai 51-77,7 milyar dolar (Billington et al.,
2014). Kontaminasi mikroorganisme patogen pada makanan setidaknya membuat 1
dari 6 orang terinfeksi dalam satu tahun. Beberapa diantara kasus infeksi
akibat kontaminasi patogen pada bahan pangen dapat diatasi oleh respon imun
penderita sendiri, namun beberapa kasus yang lain mengakibatkan keparahan pada
penderita sehingga membutuhkan penanganan serius untuk mencegah terjadinya
kematian (Carleton & Gerner-Smidt, 2016).
Frekuensi mewabahnya penyakit akibat
kontaminasi patogen pada bahan pangan semakin meningkat di seluruh dunia karena
mikrooeganisme patogen dapat ditemukan pada saluran intestinal hewan yang
diambil dagingnya untuk konsumsi manusia. Hal tersebut mengakibatkan mudahnya
transmisi patogen dari hewan ke manusia selama rantai makanan berlangsung
(Karus et al., 2017). Kontrol yang ketat pada keseluruhan rangkaian
proses pengolahan, pengemasan, distribusi, dan penyimpanan bahan pangan sangat
diperlukan untuk mengantisipasi kontaminasi yang mungkin terjadi.
B.
Kerugian akibat
kontaminasi mikroorganisme patogen pada bahan pangan
Kontaminasi bahan pangan oleh
mikroorganisme patogen merupakan ancaman besar bagi kesehatan manusia. Selain
itu, kerugian finansial akibat kerusakan baik bahan mentah maupun produk pangan
yang terkontaminasi mikroorganisme patogen dinilai cukup signifikan bagi
industri makanan. Salah satu cara untuk meminimalisasi potensi kontaminasi
adalah dengan sterilisasi, namun akibat sterilisasi dan kondisi pemrosesan yang
terlalu ekstrim justru dapat mengakibatkan perubahan fisiko kimia dan hilangnya
kandungan nutrient pada bahan pangan (Hanna et al., 2005).
Bakteri patogen pengontaminasi bahan
pangan (selain pada Tabel 1) diantaranya adalah Bacillus cereus yang
secara etiologis disebut sebagai agen penyebab penyakit gastrointestinal dan
nongastrointestinal. salah satu genus
bakteri yang berpotensi dalam kontaminasi bahan pangan. Salmonella dapat
mengakibatkan penyakit tifoid maupun non tifoid, misalnya S. enterica, S.
typhi, S. thypoid, S. bongori, dan lainnya (Malorny et al.,
2004). Eschericia coli yang merupakan bakteri Gram negatif dengan bentuk
batang dapat pula mengontaminasi bahan pangan sehingga mengakibatkan
gastroenteritis, peritonitis dan septisemia pada manusia (Vidic et al.,
2017). Selain E. coli, jenis bakteri yang juga dapat mengakibatkan
penyakit pada saluran pencernaan hingga mengakibatkan diare adalah Shigella,
Vibrio, Yersinia enterocolitica, dan Cronobacter sedangkan
Clostridium botulinum dapat mengakibatkan kerusakan pada produk olahan
daging dan menyebabkan terjadinya botulisme (Carleton & Gerner-Smidt,
2016).
Selain bakteri, fungi juga merupakan
mikroorganisme yang mungkin mengontaminasi bahan pangan. Hal tersebut
dimungkinkan dengan adanya produksi toksin oleh fungi (Bleve et al.,
2003). Fusarium oxysporum f. sp. cubense merupakan salah satu
jenis fungi yang dapat mengontaminasi pisang. Kontaminasi F. oxysporum pada
pisang mengakibatkan penyakit layu (Fusarium wilt of banana/FWB).
Penyakit layu pada pisang juga sering disebut sebagai penyakit Panama.
Kontaminasi tersebut menyebabkan menurunnya produksi pisang di seluruh dunia
(Lin & Lin, 2016). Aspergillus flavus juga berpotensi untuk
menyebabkan kontaminasi pada bahan pangan melalui produksi aflatoksin yang
dapat mengakibatkan karsinoma hati dalam jangka panjang (Barnes & White, 2016).
C.
Perkembangan metode
deteksi mikroorganisme patogen pada bahan pangan
Deteksi mikroorganisme pada bahan pangan
secara klinis memberikan beberapa tantangan tersendiri. Tantangan tersebut
meliputi rendahnya level kontaminasi sehingga pengambilan sampel secara
representatif dirasa sangat sulit (Hanna et al., 2005). Metode konvensional
dengan melihat bukti gejala infeksi, isolasi dan kultur patogen, observasi
morfologi, serta uji patogenitas dan biokimia masih memiliki banyak kelemahan
untuk mendeteksi adanya mikroorganisme patogen pada bahan pangan (Lin &
Lin, 2016). Beberapa kelemahan tersebut meliputi proses yang terlalu panjang
sehingga membutuhkan waktu relatif lama, sensitivitas dan spesifitas yang
rendah, membutuhkan banyak tenaga, dan belum bisa mendeteksi kontaminasi pada
fase awal. Padahal, deteksi mikroorganisme patogen pada fase awal kontaminasi
dapat menurunkan tingkat keparahan serta menjadi rujukan perawatan dan
pengobatan selanjutnya.
Teknologi lain untuk deteksi
mikroorganisme patogen pada bahan pangan adalah teknologi biosensing. Biosensor
mengenali biomarker target dan karakteristik tiap patogen melalui bioreseptor
yang merupakan elemen sensor tidak bergerak (immobilized sensing element).
Bioreseptor dapat berupa antibody monoklonal, RNA, DNA, glycan, lektin, enzim,
jaringan, maupun sel utuh (whole cell). Biosensor merupakan komponen
penting karena memiliki karakter biokimia dengan sensitifitas dan selektifitas
yang tinggi untuk mendeteksi penanda biologis pada patogen (Vidic et al.,
2017).
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan
salah satu metode molekuler yang cukup sensitif untuk mendeteksi
penyakit-penyakit infeksius, salah satunya adalah penyakit akibat makanan (Foodborne
diseases). Tetapi, metode ini cukup jarang digunakan karena sulitnya
ekstraksi asam nukleat dan deteksi sekuen asam nukleat spesifik dari materi
genetik patogen (Barnes and White, 2016).
Perkembangan
teknik dalam metode PCR juga turut mendukung perkembangan deteksi
mikroorganisme patogen yang mengontaminasi bahan pangan. Salah satu teknik PCR
yang banyak dikembangkan untuk alternatif deteksi patogen adalah Real Time
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Menurut Nadkarni et al. (2002),
perbedaan pada ukuran sel bakteri, aggregasi bakteri, dan keberadaan material
kontaminasi lain menyebabkan sulitnya deteksi kontaminasi mikroorganisme patogen
pada bahan pangan. karena itu, metode deteksi molekuler juga harus selalu
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan deteksi kontaminasi secara lebih
spesifik dan sensitif. Metode RT-PCR menggunakan primer dan probe sebagai
penanda tertentu untuk mendeteksi 16S rDNA yang dimiliki oleh mikroorganisme
target sehingga hasil deteksi akan lebih spesifik. Bleve et al. (2003)
menyatakan bahwa primer yang digunakan dalam RT-PCR spesifik untuk elongasi
salinan DNA sesuai dengan DNA target tertentu.
Berbagai
metode deteksi mikroorganisme patogen banyak berkembang namun, masih jarang
sekali pengembangan metode untuk pencegahan kontaminasi mikroorganisme patogen
pada bahan pangan. Salah satu metode preventif untuk mencegah kontaminasi
tersebut adalah dengan nanobioteknologi. Metode ini merupakan kombinasi antara
nanoteknologi dengan bioteknologi. Pemanfaatan nanobioteknologi secara
preventif misalnya dengan penggunaan nanopartikel perak yang dapat mematikan
patogen sebelum bahan pangan diproses lebih lanjut (Billington et al.,
2014).
Real Time-Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR) untuk
deteksi molekular mikroorganisme patogen pada bahan pangan
Salah
satu kesulitan dalam deteksi mikroorganisme patogen pada bahan pangan
diakibatkan oleh kecilnya jumlah mikroorganisme patogen tersebut (< 100
c.f.u.g-1) diantara banyaknya jenis mikroorganisme lainnya. Kesulitan lainnya
adalah untuk membuktikan bahwa strain mikroorganisme pada sampel bahan pangan
benar-benar bersifat patogen bagi manusia (Naravaneni & Jamil, 2005).
Metode berbasis
PCR dapat mendeteksi mikroorganisme patogen melalui identifikasi sekuen DNA
target yang dapat menghasilkan sensitifitas dan spesifitas cukup tinggi
(Diederen et al., 2007). Metode PCR dapat digunakan untuk deteksi
patogen secara molekuler dengan membandingkan ukuran DNA target dengan marker
atau membandingkan sekuen DNA target dengan sekuen yang terdapat pada bank gen.
PCR konvensional memiliki beberapa kelamahan seperti waktu running yang cukup
lama dan berpotensi untuk memberikan hasil positif palsu akibat kontaminasi di
laboratorium (Fricker et al., 2007). Oleh karena itu, deteksi dengan
metode PCR yang lebih spesifik harus dikembangkan.
Metode
RT-PCR semakin banyak digunakan untuk deteksi molekuler mikroorganisme karena
jika dibandingkan dengan metode kultur konvensional, metode ini lebih
sederhana, cepat, dan sangat sensitif (Vincart et al., 2007). Real-Time
PCR memungkinkan setiap siklus amplifikasi DNA diobservasi dengan sistem
computer untuk melihat sekuen dari produk PCR tersebut. Sensitivitas RT-PCR
diperoleh melalui penggunaan penanda fluoresen yang akan berikatan dengan DNA
target yang dikenal sebagai probe/penanda (Levin, 2004).
Metode
PCR dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak salinan DNA demi tujuan tertentu,
termasuk identifikasi adanya sekuen asing dalam suatu sampel DNA tertentu
(Meade & Bollen, 1994). Pada metode PCR diperlukan cetakan DNA, primer,
MgCl2, dNTP, dan enzim Taq-polimerase. Primer merupakan urutan nukleotida
dengan panjang tertentu yang berfungsi sebagai inisiator reaksi PCR. Primer
memiliki panjang 18-24 nukleotida dengan nilai GC content antara 40-60%.
Satu siklus reaksi PCR terdiri atas 3 tahap, yaitu denaturasi, annealing, dan
ekstensi.
Pada
deteksi kontaminasi bahan pangan oleh mikroorganisme patogen, PCR dimanfaatkan
untuk dapat menemukan adanya sekuen DNA spesifik yang dimiliki oleh kontaminan
tersebut. Primer yang digunakan harus didesain sesuai dengan sekuen DNA target
sehingga produk PCR yang dihasilkan bisa menunjukkan ada tidaknya hasil
amplifikasi DNA dari mikroorganisme kontaminan yang menjadi target deteksi. Ada
tidaknya sekuen DNA target dapat dilihat dari hasil visualisasi produk PCR
dengan elektroforesis gel agarosa.
Persentase
yang kecil pada DNA mikroorganisme patogen yang mengontaminasi bahan pangan menjadikan
amplifikasi DNA dengan PCR konvensional belum dapat mendeteksi adanya
kontaminasi secara sensitif. Satu kali proses PCR yang mencapai 35-40 siklus
menjadikan proses deteksi melalui amplifikasi DNA target dapat terlewat karena
siklus yang terlalu panjang.
Real-time
PCR dapat
digunakan untuk menggandakan DNA target dari suatu organisme untuk tujuan
mengetahui kuantitas DNA secara relatif, ekspresi gen (kuantifikasi mRNA),
deteksi keberadaan DNA target, menentukan jenis SNP (Single Nucleotide
Polymorphism), menentukan kurva Tm (Melting Curve), dan melakukan
skrining High Resolution Melting (HRM). Pada PCR konvensional, deteksi
keberadaan DNA dilakukan di akhir reaksi dan pengamatan keberadaan DNA hasil
amplifikasi dilakukan di gel agarose setelah dilakukan proses elektroforesis.
Berbeda halnya pada RT_PCR yang memungkinkan pengamatan DNA dilakukan saat
reaksi masih berlangsung. Keberadaan DNA diamati pada grafik yang muncul
sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari probe. Pengamatan hasil tidak lagi
membutuhkan tahap elektroforesis.
Primer
dan probe untuk real time-PCR (RT-PCR) dipilih melalui penjajaran (alignment)
keseluruhan gen pada patogen dan determinasi sekuen menggunakan perangkat lunak
Primer Express (Applied Biosystem). Fragmen yang akan diamplifikasi
dengan RT-PCR terlebih dahulu dicek menggunakan BLAST
(http://www.ncbi.nml.nih.gov/BLAST) untuk menghindari kesalahan positif (false
positive) yang diakibatkan oleh homologi sekuen (Vincart et al.,
2007).
Real
Time PCR (RT-PCR) memungkinkan
deteksi patogen pada bahan pangan dalam waktu yang lebih cepat, memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, serta memungkinkan perhitungan
hasil amplifikasi materi genetik DNA patogen target. Resiko terjadinya
kontaminasi silang dapat direduksi secara signifikan serta hasil deteksi lebih
optimal karena manipulasi setelah proses PCR tidak diperlukan (Fricker et
al., 2007). Deteksi molekuler mikroorganisme patogen pada bahan pangan
dengan RT-PCR memiliki potensi sebagai metode yang cepat dan dapat dipercaya
untuk mengontrol sampel yang terkontaminasi sepanjang rantai produksi makanan
(Malorny et al., 2004).
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Deteksi mikroorganisme pada bahan pangan
secara klinis memberikan beberapa tantangan tersendiri. Tantangan tersebut
meliputi rendahnya level kontaminasi sehingga pengambilan sampel secara
representatif dirasa sangat sulit. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan
salah satu metode molekuler yang cukup sensitif untuk mendeteksi
penyakit-penyakit infeksius, salah satunya adalah penyakit akibat makanan (Foodborne
diseases). Tetapi, metode ini cukup jarang digunakan karena sulitnya
ekstraksi asam nukleat dan deteksi sekuen asam nukleat spesifik dari materi
genetik pathogen.
B. SARAN
Diperlukan pengemangan dan penelitian
lebih lanjut mengenai biosensor dalam hal pendeteksian racun dalam bahan
pangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Barnes,
R. A. and P. L. White. 2016. PCR technology for detection of invasive
Aspergillosis. Journal of Fungi 2 (23): 1-9.
Billington,
C., J. A. Hudson, and E. D’Sa. 2014. Prevention of bacterial foodborne disease
using nanobiotechnology. Nanotechnology, Science and Applications (7):
73-83.
Bleve,
G., L. Rizzotti, F. Dellaglio, and S. Torriani. 2003. Development of reverse
transcription (RT)-PCR and real-time RT-PCR assays for rapid detection and
quantification of viable yeasts and molds contaminating yogurts and pasteurized
food products. Applied and Environmental Microbiology 69 (7): 4116-4122.
Carleton,
H. A. and P. Gerner-Smidt. 2016. Whole-genome sequencing is taking over
foodborne disease surveillance. Microbe 11 (7): 311-317.
Diederen,
B. M. W., C. M. A. de Jong, F. Marmouk, J. A. W., Kluytmans, M. F. Peeters, and
A. V. der Zee. 2007. Evaluation of real-time PCR for the early detection of Legionella
pneumophila DNA in serum samples. Journal of Medical Microbiology (56):
94-101.
Fricker,
M., U.Messelhäuβer, U. Busch, S. Scherer, and M. Ehling-Schulz. 2007.
Diagnostic real-time PCR assays for the detection of emetic Bacillus cereus strains
in foods and recent food-borne outbreaks. Applied and Environmental
Microbiology 73 (6): 1892-1898.
GeneticID.
2016. Genetic analysis. Retrieved from
http://www.gmotesting.com/Testing-Options/Genetic-analysis.
Hanna,
S. E., C. J. Connor, and H. H. Wang. 2005. Real-time polymerase chain reaction
for the food microbiologist: technologies, applications, and limitations. Journal
of Food Science 70 (3): 49-53.
Karus,
A., F. Ceciliani, A. S. Bonastre, and V. Karus. 2017. Development of simple
multiplex real-time PCR assays for foodborne pathogens detection and
identification on lightcycler. Macedonian Veterinary Review 40 (1):
53-58.
Levin,
R. E. 2004. The application of real-time PCR to food and agricultural systems:
A review. Food Biotechnology 18 (1): 97-133.
Lin,
Y. and Y. Lin. 2016. Recent developments in the molecular detection of Fusarium
oxysporum f. sp. cubense. Journal of Nature and Science 2
(10).
Malorny,
B., E. Paccassoni, P. Fach, C. Bunge, A. Martin, and R. Helmuth. 2004.
Diagnostic real-time PCR for detection of Salmonella in food. Applied
and Environmental Microbiology 70 (12): 7046-7052.
Meade,
B. D. and A. Bollen. 1994. Recommendations for use of the polymerase chain
reaction in the diagnosis of Bordetella pertussis infections. Journal
of Medical Microbiology (41): 51-55.
Nadkarni,
M. A., F. E. Martin, N. A. Jacques, and N. Hunter. 2002. Determination of
bacterial load by real-time PCR using a broad-range (universal) probe and
primers set. Microbiology (148): 257-266.